Lewat karya-karyanya, Nahum
Situmorang telah mengantarkan seniman-seniman Batak melanglang ke manca negara,
macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat
lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah
dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan
dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka
yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang
layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa
dijadikan monumen untuk mengenang dirinya.
Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun
di komplek pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke
tanah leluhurnya melalui lagu Pulo Samosir, masih tetap sebatas
impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah sakit-sakitan tiga
tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi. Piagam Tanda Penghormatan dari
Presiden SBY diganjar untuknya pada 10 Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah
Seni yang diberikan Menteri P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969.
Para pewaris karya ciptanya yang
sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan
jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan
Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman
suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut
disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang
sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran
persoalan pengumpulan royalti.
***
PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris
yang diketuai Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua
Yayasan Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan
ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum Situmorang
berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan Medan, Februari
2008. Kemudian mereka minta pula saya, entah pertimbangan apa, jadi ketua
pemindahan kerangka dan pembangunan Museum Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya
dan Monang tentu antusias menerima tawaran tersebut, namun setelah belakangan
tahu di antara para pewaris ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar
mereka terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan
sesuatu yang bisa disembarangkan dalam hukum adat Batak.
Di tengah proses penyiapan proposal,
tiba-tiba saya dengar ada seorang dongan sabutuha (teman satu marga)
yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya
cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor
(juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang
hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul
Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke
Inul Vista.
Saya pun lantas menghentikan langkah,
semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas
karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak,
selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan
pembangunan museum Nahum terbengkalai.
Tentu saja saya kecewa, seraya
menyesali minimnya apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan
Tapanuli terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan
sesuatu untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan Bangso
Batak. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya
Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman cum pendidik
yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah kisruh akibat
munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas karya cipta Nahum hingga
keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya sederhana) agar dikubur di bumi
Samosir, semakin tak pasti.
Saya tak tahu bagaimana perasaan
mereka yang berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim
hak cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu Pulo
Samosir ini: Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku
disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma. (Bila hidupku sudah berakhir,
ingatlah/Makamkanlah jasadku di sana/Sediakanlah kuburanku di sana).
Demikianpun, saya tetap berharap gagasan memindahkan jasad Sang Guru ke bumi
Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya akan terwujud
suatu saat, entah siapapun pelaksananya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar