Rabu, 01 April 2015

NAHUM SITUMORANG DAN LAGU-LAGU-NYA (menurut pandangan Suhunan Situmorang)


NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman.



Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya, terutama sukunya sendiri. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.
Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era millenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupan dirinya yang dipenuhi romantika yang melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya.
Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis.
Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis.
***
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman.
SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain. Sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta, berhamburan dari jiwanya yang merana.
Demikian pun Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu Serenade Toscelli yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi Ro ho Saonari, sebagai lagu ciptaan komponis Italia.
Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah stau contoh adalah lagu Anakhonhi do Hamoraon di Au (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus marhoi-hoi (susah-payah) memenuhi keperluan anak.
Juga ketika ia menulis lagu Modom ma Damang Unsok, laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara ia sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya.
Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu Beha Pandundung Bulung, misalnya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan. Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul Nahinali Bangkudu. Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati dengan status lajang. Dengan pengunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere. Ironis sekaligus tragis.
Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun piawai mengayun sanubari lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur andung (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu Huandung ma Damang, Bulu Sihabuluan, Assideng-assidoli, Manuk ni Silangge, dan yang lain, begitu pekat unsur uning-uningan-nya.
Akhirnya kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan. Lagu Ketabo-ketabo, misalnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara Lissoi-lissoi yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.
Demikian halnya tembang Rura Silindung dan Dijou Au Mulak tu Rura Silingdung, begitu kental melukiskan lanskap daerah orang Tarutung itu, hingga saya sendiri, misalnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu bila mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui O Tao Toba. Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu Pulo Samosir, disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian.
***
SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang menggigit karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun.” ***

(dicopy paste dari: https://tanobatak.wordpress.com/2009/09/15/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar