NAHUM memang
bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan
balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana
ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente,
senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti
gaya yang tengah ditawarkan zaman.
Nahum pun menjadi sosok yang
melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan
sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya,
peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu
ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia
Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap
tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang
dibengkalaikan bangsa dan negerinya, terutama sukunya sendiri. Seseorang yang
sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak
dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya.
Nahum sendiri mungkin tak pernah
berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa.
Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman
memasuki era millenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami
perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur
hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupan dirinya yang
dipenuhi romantika yang melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme.
Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah
dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti
saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang
di zamannya.
Meski aliran musik yang diusungnya
beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang
mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba,
tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak
murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya
metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan
masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan
didaktis.
Ia begitu romantik tapi tak lalu
terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun
menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran
hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak,
sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan
luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap
sarkastis.
***
NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan
penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang
penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian
senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran
rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman.
SAMPAI usianya berujung, ia tetap
melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak
terpulihkan pada seorang perempuan bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari
kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma”
seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum rupanya bukan jenis cinta sembarangan
yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya,
benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa;
terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya
yang sudah menikah dengan pria lain. Sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya
terjangan cinta, berhamburan dari jiwanya yang merana.
Demikian pun Nahum tak hanya menulis
sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang
mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada
alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan
sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun
30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di
Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu Serenade
Toscelli yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi Ro ho Saonari,
sebagai lagu ciptaan komponis Italia.
Nahum pun terkenal memiliki daya
imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi
seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa
menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya.
Salah stau contoh adalah lagu Anakhonhi do Hamoraon di Au (Anakkulah
kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang
siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan
kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh
kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu
itu Nahum layaknya seorang ibu.
Kemampuannya berempati itu, bagi
saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga
yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan
kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar
memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah
berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar
dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus marhoi-hoi
(susah-payah) memenuhi keperluan anak.
Juga ketika ia menulis lagu Modom
ma Damang Unsok, laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena
ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang
masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si
anak. Ia pun menulis lagu Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda yang
menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang
belakangan sementara ia sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah
mengalaminya.
Kesimpulan saya, selain memiliki daya
imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan
kemelut orang lain. Dalam lagu Beha Pandundung Bulung, misalnya, ia
begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang
dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: Beha pandundung bulung da
inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on
padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis
inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan. Ia
lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan
nada-nada kesedihan.
Mengentak pula lagunya (yang dugaan
saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul Nahinali Bangkudu. Lirik
lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan
mati dengan status lajang. Dengan pengunaan metafora yang mencekam, Nahum
meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: Atik
parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere.
Ironis sekaligus tragis.
Dan Nahum tak saja pandai menulis
lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun piawai mengayun sanubari
lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur andung (ratap)
yang amat pekat. Perhatikanlah lagu Huandung ma Damang, Bulu Sihabuluan,
Assideng-assidoli, Manuk ni Silangge, dan yang lain, begitu pekat unsur uning-uningan-nya.
Akhirnya kesan kita memang, dari 120
lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan
120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan.
Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek
sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan.
Lagu Ketabo-ketabo, misalnya, menceritakan suasana riang kaum muda
Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara Lissoi-lissoi
yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana.
Demikian halnya tembang Rura
Silindung dan Dijou Au Mulak tu Rura Silingdung, begitu kental
melukiskan lanskap daerah orang Tarutung itu, hingga saya sendiri, misalnya,
selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon
dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu bila mendengar kedua
lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui O
Tao Toba. Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta
Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona
danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu Pulo
Samosir, disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur
sementara kenyataannya tak demikian.
***
SAYA termasuk beruntung karena
semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya
bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa
Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan
kurang menggigit karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente
dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia
sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri
bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal
dunia di usia 62 tahun.” ***
(dicopy paste dari: https://tanobatak.wordpress.com/2009/09/15/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar