Oleh:
John Ferry Sihotang
Kearifan
lokal adalah kearifan yang terlupakan. Itulah kenyataan pahit di tengah
kebisingan globalisasi informasi saat ini. Yang lokal menjadi tersingkir oleh
serbuan peradaban yang kian hari kian membusuk ini. Penyeragaman dipaksa
menjadi sebuah keniscayaan, lantas keberbedaan dianggap kekolotan. Meriapnya
materialisme dan individualisme dalam mentalitas-budaya masyarakat kita, adalah
penyebab utama alpanya yang lokal itu. Tak jarang pula kita saksikan
akhir-akhir ini, saat kemunafikan dan ketidakberanian menampilkan kesejatian
diri, menjadi hal lumrah. Kearifan lokal, yang sejatinya sebagai keunikan ragam
suku di negeri ini, sungguh telah kian tergerus arus zaman.
Tema
lokalitas itu kini mulai digali kembali oleh beberapa pemikir, termasuk para
penyair, cerpenis, dan novelis; salah satunya tertuang dalam Novel Sordam ini.
Rupa-rupanya, yang lokal bukanlah sekadar masa lalu yang terkubur, membeku,
apalagi tanpa makna. Memang kita tak mungkin kembali ke masa lalu, namun apa
yang ada di waktu lampau tetaplah memiliki nilai-nilai tradisional dan
norma-norma hidup yang layak ‘diselamatkan’ kembali, untuk kekinian. Maka, yang
lokal itu dapat dilihat sebagai alternatif baru untuk mengarungi keseharian
yang makin miskin spritualitas ini. Dalam konteks “Sordam” ini, kearifan lokal
suku Batak menjadi tema sentral – berikut persinggungannya dengan suku lain,
bahkan bangsa lain.
Apa
jadinya bila manusia menjadi terasing dan tercerabut dari akar tradisi-budaya
yang melahirkannya? Apakah harga diri seorang Batak hanya diukur dari kuburan
yang megah, pesta adat yang besar, penampilan yang mewah, kekayaan, bahkan
jabatan? (hal. 185). Apakah masih perlu mempertimbangkan dan menaati serta
menyikapi kepatuhan, nilai-nilai, norma-norma adat dan hukum adat? Kira-kira
itulah beberapa pertanyaan yang mau diselami penulis dalam Novel ini –
sekaligus hendak memperkenalkan bumi leluhurnya: Tano Batak – Danau Toba, yang
bak ratna mutu manikam di Nusantara ini.
Kecenderungan
modernitas yang menggaungkan rasionalitas itu semakin mendepak intuisi dan
naluri asali kita. Sebut saja soal adat dan ikatan perkerabatan. Saya
kira – mengamini penulis novel ini – keduanya tak melulu soal nalar dan rasio,
akan tetapi soal naluri yang merekatkan dengan “yang lain”. Ironisnya, banyak
yang sinistik dan salah menafsirkan, bahkan mencela tradisi-adat itu; bisa
diduga, penerapannya pun menjadi dangkal. Falsafah lokal itu bukanlah
sejarah purba semata yang sudah kedaluwarsa. Nilai-nilai tradisi-budaya
yang ditanamkan leluhur kita, khususnya yang menjunjung tinggi ikatan
kolektivitas dan kedekatan dengan alam itu, tetaplah sebuah pola berkehidupan
yang berkualitas.
Novel
yang menggabungkan realitas dan imajinasi ini bisa dijadikan sebagai refleksi
dan introspeksi untuk bangsa ini – khususnya bangsa Batak – di tengah jamaknya
kecenderungan semu mengagungkan materi, gengsi, dan puja-puji. Novel pertama
Suhunan Situmorang ini adalah sebuah karya seni membenahi hidup. Penulis
mencoba merengkuh esensi kehidupan yang kian menjelma gurun tandus
keterpesonaan pada permukaan. Padahal kita telah mengidealkan, bahwa “hidup
yang baik” adalah hidup seseorang yang benar-benar menjalani kehidupan dengan
hormat dan bermartabat (sangap): bukan penindas, bukan perusak
lingkungan, bukan penista kemanusiaan; akan tetapi yang punya afeksi peduli
kepada alam dan sesama.
Dalam
novel ini, Tulang SS — begitu saya memanggil budayawan Suhunan Situmorang,
menyadari eksistensinya sebagai seorang Batak, dan tetap bangga dengan
kebatakannya, kendati sistem adat dan nilai-nilai anutannya kerap menimbulkan
masalah (hlm. 186). Dari kecintaan itu pula ia mencoba menyelami tradisi
lokalnya, dengan kritis. Ihwal tradisi Batak, sikap dan pandangan Tulang SS
jelas tertulis dalam buku ini: “Para leluhur membuat adat dan hukum adat,
bukanlah untuk menyusahkan keturunan mereka. Tapi sebagai rambu-rambu dalam
melakukan interaksi dan relasi sosial untuk menjaga harmoni. Dan mereka,
generasi selanjutnya, sepatutunyalah menyelaraskan sesuai dengan konteks dan
tuntutan zaman, berlandaskan filosofi kebatakan mereka.” (hlm. 187).
Karya
Sordam ini juga menghadirkan problematika hidup berkebangsaan. Demikianlah,
karya sastra yang baik memang semestinya menampilkan serentak mengkritisi
banyak replika hidup dengan segala kompleksitas persoalannya. Lewat tokoh-tokoh
Novel ini, penulis mengangkat masalah pluralisme, perburuhan, hak-hak
perempuan, religiositas, dll. Mungkin ada yang beranggapan novel ini terlalu
melebar ke mana-mana atau terkesan ‘menggurui’. Namun, saya melihatnya bukan
demikian. Karya ini justru menunjukkan diri penulis yang memiliki wawasan yang
luas, mau berpikir mendalam, dan tidak terjebak dalam egosentrisme dan sukuisme
yang sempit. Minat penulis yang tinggi akan filsafat, sastra, dan budaya,
membuatnya berayun dengan tangkas menyentuh akar kenyataan hidup yang kadang
penuh kontradiksi dan dilema ini. Kepiawaiannya mengolah kata dan makna,
menjadi daya tarik tersendiri dalam penulisan karya ini: menciptakan
ketersituasian tarik-menarik antara individualitas dan kolektivitas, terutama
pada tokoh Paltibonar.
Paltibonar
Nadeak, tokoh utama dalam novel Sordam ini, adalah sosok imajiner bagi manusia
– bagi orang Batak khususnya. Saya katakan sosok imajiner, karena bisa jadi
cermin bagi kita untuk memahami diri sendiri. Dan, Paltibonar menyadari
eksistensinya tanpa menyangkal identitas diri dan sosialnya sebagai seorang
Batak. Pun sebagai warga Indonesia, ia bersikap demokratis dan mempunyai
keprihatinan tinggi kepada bangsanya, lalu berani menceburkan diri dalam
persoalan kemanusiaan dan lingkungan. Paltibonar tak mau terlena dalam bujukan
untuk konformis; yang hanyut dalam perburuan materi, pertarungan kapital, dan
penghambaan diri pada kekuasaan semata. Karakter Paltibonar (seorang pengacara
muda Batak) digambarkan sebagai seorang yang intelek, gigih, berpandangan luas,
bisa bekerja di luar negeri, dan bersikap pluralis. Akan tetapi – seperti
selalu disorot Tulang SS dalam kolomnya setiap hari sabtu di harian Batak Pos,
yang lebih utama dalam diri Paltibonar adalah, integritasnya yang teguh
memegang values tradisi, budaya, dan norma-norma adatnya.
Selain
mencoba menepis anggapan-anggapan minor terhadap etnis Batak, novel ini ingin
menawarkan syarat keotentikan menjadi manusia yang bernilai. Dalam asumsi saya,
selain memiliki etika dan moral dalam hidup, bersikap jujur dan rendah hati;
penulis juga mengagumi (bahkan terobsesi) pada manusia yang punya ketulusan,
kepedulian, dan kebajikan pada kearifan lokalnya. Ke sanalah aku menghela pesan
yang mau disampaikan novel ini: agar semakin banyak manusia (Batak) yang punya
nilai.
Begitulah,
novel ini menawarkan jalan untuk menjadi seorang (Batak) yang bernilai, menjadi
“anak ni raja”, dalam kosa kata Tulang Suhunan Situmorang. Dari novel ini saya
belajar, menjadi manusia Batak yang punya nilai berarti: menjadi manusia universal
yang kaya spritualitas hidup, menjadi manusia Indonesia yang menghargai
pluralitas dan memiliki kepedulian, sekaligus menjadi manusia Batak yang
mencintai kearifan lokalnya – yang dengan demikian, mau me-revitalisasi tradisi
budaya Batak itu sendiri. ***
(dicopy
paste dari: https://johnferrysihotang.files.wordpress.com/2012/03/sordam1.jpg?w=232&h=319)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar